ALIRAN DANA KASUS KORUPSI DIRUT WASKITA KARYA
Jakartanewsonline.com– BUMN konstruksi PT Waskita Karya (Persero) Tbk tengah dalam titik nadir, di mana perusahaan tidak sanggup membayar utang obligasi yang sudah jatuh tempo dan meminta penundaan. Perdagangan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) juga disuspensi.
Bahkan, nasib perusahaan semakin memperihatinkan setelah direktur utamanya, yaitu Destiawan Soewardjono, dijebloskan ke bui akibat dugaan korupsi yang dilakukannya. Destiawan Soewardjono adalah Direktur Utama PT Waskita Karya Periode Juli 2020 hingga 2023 ditetapkan sebagai tersangka pada 27 April 2023.
Saat ini, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menelusuri aliran uang ke mantan Kepala Bagian Keuangan dan Risiko Divisi II PT Waskita Karya, Yuly Ariandi Siregar (YAS). Sebagaimana telah diketahui, bahwa YAS menjadi tersangka proyek subkontraktor fiktif, di mana YAS diperiksa penyidik KPK terkait dugaan perannya memanipulasi data keuangan proyek.
Tidak hanya dugaan mengenai manipulasi data keuangan saja, penyidik juga mendalami aliran uang yang diduga diterima oleh Yuly Ariandi dan empat tersangka lainnya dari sejumlah proyek subkontraktor fiktif di Waskita Karya. Lantas, seperti apa aliran uang korupsi Waskita Karya?
Aliran Uang Korupsi Waskita Karya
Destiawan Soewardjono adalah Direktur Utama PT Waskita Karya Periode Juli 2020 hingga 2023 ditetapkan sebagai tersangka pada 27 April 2023, di mana dirinya disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Peran Destiawan Soewardjono dalam perkara ini, adalah secara melawan hukum memerintahkan dan menyetujui pencairan dana “supply chain financing” (SCF) dengan menggunakan dokumen pendukung palsu untuk digunakan sebagai pembayaran utang-utang perusahaan yang diakibatkan pencairan pembayaran proyek-proyek pekerjaan fiktif guna memenuhi permintaan tersangka.
Kasus yang menjerat Destiawan terkait dengan pencairan utang bank adalah melalui skema supply chain financing (SCF) dengan menggunakan dokumen pendukung palsu alias proyek yang dikerjakan tidak benar-benar ada alias fiktif.
Sebenarnya skema pembiayaan proyek menggunana dana SCF itu sudah lazim dilakukan oleh perusahaan konstruksi. Tujuannya adalah agar proyek tetap bisa berjalan meski perusahaan mengalami kesulitan arus kas.
Namun SCF bisa jadi celah bagi oknum perusahaan untuk mengambil keuntungan-keuntungan pribadi. Bukannya untuk membiayai proyek, namun dana pinjaman bank justru digunakan untuk kepentingan lainnya. (*/win/bhr)